Latihan Soal UAS THE
MKWU4102-3
NASKAH
TUGAS MATA KULIAH UNIVERSITAS
TERBUKA SEMESTER: 2021/22.1
(2021.2)
Fakultas : FKIP/Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Kode/Nama MK :
MKWU4102/Pendidikan Agama Khatolik Tugas 3
No. |
Soal |
1. |
Proses inkulturasi yang terus berlanjut
dalam Gereja Katolik merupakan usaha-usaha Gereja untuk menghayati iman Katolik yang diungkapkan
dalam kekhasan dan kekayaan setiap budaya. Supaya proses ini tidak
salah arah, maka Gereja membuatkan pedoman-pedoman pelaksanaannya yang dituangkan dalam
dokumen-dokumen Gereja. a.
Uraikan konsep inkulturasi menurut
beberapa dokumen Gereja, yang menjadi dasar bagi upaya- upaya
inkulturasi yang terus
dilangsungkan dalam Gereja
Katolik. b.
Jelaskan dengan contoh rupa-rupa tantangan dalam upaya-upaya inkulturasi. c.
Jelaskan dua segi yang terdapat dalam
inkulturasi yang penting diperhatikan dalam upaya terus memperjuangakan penghayatan iman Katolik
dalam konteks kebudayaan setempat. Tuliskan jawaban Anda minimal 3
halaman, dilengkapi dengan referensi pendukung, dari Kitab Suci dan dokumen-dokumen resmi Gereja, serta
pemikiran kritis dan rasional dari
para pakar atau
ahli. |
2. |
Geraja Katolik sangat memahami dan
mengakui besarnya peran atau sumbangan kaum awam dalam misi penyelamatan Allah yang terus berlangsung, sehingga
Gereja merasa perlu membuat deskripsi yang jelas tentang kekhususan atau karakteristik kaum awam itu
sendiri terutama berdasarkan apa yang tertulis secara
luas dalam Kitab
Suci, dan kemudian dijabarkan dalam dokumen-dokumen resmi Gereja. a.
Deskripsikan karakteristik kaum awam ditinjau dari martabatnya, yang juga terpanggil dalam satu panggilan yang sama dengan
seluruh anggota Gereja. b. Deskripsikan karakteristik kaum awam dari tanggungjawabnya terkait
karya kerasulan Gereja
Katolik. c. Deskripsikan karakteristik kaum awam dari keterlibatannya dalam tugas-tugas Gereja,
sebagai imam, nabi
dan raja. Tuliskan jawaban Anda minimal 3 halaman, dilengkapi dengan referensi pendukung, dari Kitab Suci dan dokumen-dokumen resmi Gereja, serta
pemikiran kritis dan rasional dari
para pakar atau
ahli. |
1. A
a. Inkulturasi adalah sebuah istilah yang digunakan di dalam
paham Kristiani, terutama
dalam Gereja Katolik Roma, yang merujuk
pada adaptasi dari ajaran-ajaran Gereja pada saat
diajukan pada kebudayaan-kebudayaan non-Kristiani, dan untuk memengaruhi
kebudayaan-kebudayaan tersebut pada evolusi ajaran-ajaran gereja. Jadi yang
dimaksud dengan inkulturasi adalah hubungan timbal balik
antara Gereja Katolik dengan budaya setempat gereja tersebut
berada, yaitu wujud fisik yang konkrit yang dapat dilihat,
diraba, dalam hal ini budaya yang ada di
sekitar gereja dapat memperkaya budaya gereja dan
ajaran gereja dapat terus dibudayakan.
b. Tantangan inkulturasi Ada banyak pertanyaan dan permasalahan di sekitarnya.
1) Cakupan. Orang sering
memikirkan inkulturasi hanya dalam konteks liturgi saja, entah soal pakaian,
musik, tata ruang liturgi dst. Padahal masalah inkulturasi itu bukan hanya
bersangkut paut dengan liturgi saja, melainkan juga berbagai bidang kehidupan iman,
entah itu pewartaan, persekutuan, atau pun pelayanan. Inkulturasi juga bias menyangkut
berbagai ranah kehidupan bersama dalam Gereja, entah mencakup segala tradisi,
adat kebiasaan, kehidupan membiara, berkeluarga atau pun membujang dst.
2) Makna inkulturasi itu
sendiri. Kebanyakan orang menggambarkan inkulturasi sebatas pada “kulitnya”
saja. Bila orang sudah menggunakan gamelan dalam misa kudus, lalu imamnya
memakai pakaian adat (misal di Jawa: surjan-blangkon),
orang sudah menganggap: “Inilah inkulturasi”. Padahal inkulturasi bermakna
lebih luas dan lebih dalam lagi. Inkulturasi itu meliputi seluruh pengungkapan,
penghayatan dan perwujudan iman kristiani itu sendiri dalam seluruh kehidupan kita.
3) Dasar teologis inkulturasi.
Sebagian orang masih memandang bahwa dasar pokok inkulturasi adalah misteri
inkarnasi, yakni Sang Allah Putra yang menjadi manusia. Padahal kita semestinya
memahami inkulturasi berdasarkan keseluruhan misteri Yesus Kristus yang bukan
hanya menjelma tetapi juga hidup, berkarya dan terutama wafat serta bangkit
(misteri Paskah) hingga mengutus Roh Kudus-Nya kepada Gereja.
4) Tegangan antara iman
seluruh Gereja (universal) dan penghayatannya secara lokal. Ini soal yang tidak
mudah. Banyak orang yang mengharapkan agar segala unsur budaya setempat bias dimasukkan
ke dalam khazanah kehidupan iman Gereja. Misalnya saja ada orang yang
mengusulkan pemakaian jenis makanan pokok setempat sebagai pengganti roti dan
anggur dalam perayaan Ekaristi. Usulan untuk mengganti roti dan anggur dengan
makanan pokok daerah tersebut tentu saja tidak diterima. Sebab iman yang kita
akui dan kita hayati pertama-tama adalah iman seluruh Gereja.
5) Benturan budaya. Iman
kristiani yang kita terima di Indonesia adalah iman yang diwartakan oleh orang
Eropa. Itu pun menumpang pada masa kolonialisme Barat. Lalu bagaimana iman
Gereja yang diwartakan oleh para misionaris itu dihayati dan diungkapkan oleh orang
Indonesia? Bagaimanapun juga Injil Yesus Kristus itu dibawa, diungkapkan, dan
diwartakan dengan baju budaya tertentu, sebut saja: Yahudi-Yunani-Romawi- dan
Barat. Bagaimana realitas budaya “asing” yang menjadi badan atau bungkus Injil
Yesus Kristus bisa diterima dan dihayati oleh orang-orang beriman di Indonesia?
Dalam hal ini mau tidak mau terjadilah benturan budaya. Contoh konkretnya:
bagaimana simbol-simbol kristiani, seperti simbol liturgi (kasula, roti-anggur,
tepukan pada sakramen krisma dsb), dapat dipahami dan dihayati orang Indonesia?
6) Pluralitas. Masalah ini
muncul sebagai buah dari adanya inkulturasi. Dengan semakin banyaknya unsur
budaya lokal yang masuk dalam khazanah kehidupan iman Gereja setempat, maka di
dunia ini bisa terjadi aneka macam bentuk dan model penghayatan iman Gereja. Ada
kemungkinan bahwa orang Katolik di daerah tertentu tidak dapat mengikuti
kegiatan Gereja di daerah lain, karena di situ serba lain.
7) Interdisipliner. Terkadang
orang hanya mendekati inkulturasi hanya dari sisi biblis, teologis atau
liturgis saja. Sayangnya sisi budaya-antropologis, historis, sosiologis,
ethnologis dsb kurang digali. Cara terbaik ialah bahwa para ahli dari berbagai
cabang disiplin ilmu itu berbicara bersama tentang masalah inkulturasi ini.
Masalah lebih lanjut ialah keterbatasan tenaga ahlinya dan bagaimana
mengumpulkan mereka.
c. Inkulturasi
budaya merupakan bentuk usaha Gereja dalam menanggapi kebutuhan umat. Berbagai
usaha dilaksanakan oleh gereja dengan tujuan agar pesan warta gembira yang
disampaikan kepada umat lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus, sehingga umat
Katolik sedapat mungkin menangkapnya dengan mudah dan dapat ikut serta dalam
kegiatan praktik pastoral secara utuh, aktif dengan cara yang khas bagi umat.
inkulturasi budaya akan
berkembang secara terus menerus sesuai dengan kaidah-kaidah ajaran Gereja
Katolik di mana umat berada, sehingga amanat Injil dapat disampaikan secara
utuh, sesuai dengan inspirasi tradisi. Inkulturasi budaya bukan hanya berguna
untuk waktu sekarang, tetapi juga untuk waktu yang akan datang. Bukan saja
untuk segelintir orang, melainkan untuk banyak orang.
Melalui inkulturasi budaya
diharapkan akan menjadi nafas baru bagi umat Katolik khususnya umat di pedesaan
dalam menghayati imannya, karena tradisi dan budaya masih terasa di wilayah
tersebut.
Beberapa paroki mengadakan
perayaan misa inkulturasi termasuk paroki Maria Ratu Damai Purworejo sebagai
bagian dari dekenat Keuskupan Malang. Paroki ini tidak hanya berhenti pada
tahun itu saja merayakan tahun budaya, akan tetapi inkulturasi budaya
dikembangkan sampai sekarang. Berkaitan dengan letak geografis dari gereja
Maria Ratu Damai yang berada di daerah pedesaan, maka inkulturasi budaya
diterapkan dalam kegiatan praktik pastoral, di antaranya kegiatan Misa Jumát
legi yang dilakukan oleh umat Katolik.
Boelaars, H.JW.M, Indonesianisasi.
Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia,
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Fox, Thomas C., Pentecost
in Asia. A New Way of Being Church, Maryknoll-New York: Orbis Books, 2002.
- A
a.
Paus Yohanes Paulus II
mengajarkan bahwa dasar tugas panggilan dan misi kaum awam adalah persekutuan
dengan Kristus (lih. CL 8). Misteri persekutuan dengan Kristus inilah yang
menyatakan martabat panggilan dan misi kaum awam. Maka pelaksanaan tugas
panggilan kaum awam pada dasarnya merupakan 1) partisipasi kaum awam dalam
ketiga misi Kristus sebagai imam, nabi dan raja (lih. CL 14), yaitu misi yang
kita peroleh setelah kita dibaptis- dan 2) sebagai langkah nyata yang
dilaksanakan untuk dapat bertumbuh dalam kekudusan (lih. CL 16-17), yang
menjadi panggilan semua umat Kristen.
Kriteria kaum awam
ini dapat dikatakan otentik meliputi:
1)
Tujuan utamanya
adalah untuk memenuhi panggilan setiap umat beriman kepada kekudusan.
2)
Bertanggung jawab
untuk mengakui iman Katolik yang sepenuhnya: kebenaran akan Kristus, Gereja dan
umat manusia, sesuai dengan ajaran Magisterium.
3)
Memberikan
kesaksian akan persekutuan yang kuat dan otentik, dalam ketaatan kepada Bapa
Paus dan pada iman Gereja.
4)
Sesuai dan
berpartisipasi di dalam tujuan karya kerasulan Gereja, yaitu evangelisasi dan
pengudusan umat manusia dan pembentukan hati nurani umat Kristiani, agar dapat
menanamkan semangat Injil di dalam sendi-sendi kehidupan manusia.
5)
Berkomitmen untuk
hadir dalam masyarakat untuk melayani martabat manusia- atas dasar bahwa semua
manusia diciptakan menurut gambaran Tuhan- dan untuk melayani kehidupan.
Kaum awam mempunyai
panggilan dan misi untuk mewartakan Injil (lih. CL 33). Melalui evangelisasi,
Gereja dibangun menjadi komunitas
iman, yaitu komunitas yang mengakui iman yang setia penuh pada
Sabda Tuhan, sebagaimana dirayakan dalam sakramen, dan komunitas yang hidup di
dalam kasih yang menjadi prinsip ajaran moral Kristiani (lih. CL 33). Prinsip
utama dari pewartaan kaum awam ini adalah membawa terang Kristus ke dalam dunia
sekular, sehingga nilai-nilai kehidupan di dunia ini dapat diarahkan kepada
Kristus. Titik awal dari panggilan dan misi ini dimulai dari keluarga yang
adalah inti sel masyarakat yang terkecil , dan tujuan dari misi ini adalah
untuk melayani
kehidupan masyarakat, demi kebaikan bersama.
Untuk melakukan tugas panggilan dan misi kaum
awam, diperlukan proses formasi/ pendewasaan iman di dalam kesatuan dengan
Kristus, sebagaimana ranting harus selalu melekat pada pokoknya. Tujuan yang
paling mendasar dari proses ini adalah agar setiap orang yang terlibat dapat
mengetahui dengan lebih jelas akan panggilan hidupnya dan berkemauan lebih
besar untuk melaksanakan misinya. Untuk dapat mengetahui kehendak Tuhan di
dalam hidup kita ini hanya dapat diperoleh melalui:
1)
Mendengarkan Sabda Tuhan dan Gereja,
2)
Doa yang sungguh-sungguh dan terus menerus,
3)
Bimbingan dari pembimbing rohani yang bijaksana,
4)
Discernment yang terus menerus tentang berbagai karunia dan talenta yang sudah
diberikan Tuhan dan juga keadaan di mana kita tinggal. Proses formasi ini pada
dasarnya adalah proses pembentukan diri agar dapat semakin terbuka terhadap
karya Allah.
b.
Kaum
awam menunaikan tugas perutusan Gereja di dunia itu
terutama dengan kesesuaian hidup dengan iman, yang menjadikan mereka terang
dunia, dengan ketangguhan mereka dalam urusan manapun juga, sehingga
mereka menarik semua orang kepada cinta akan kebenaran dan kebaikan, dan
akhirnya kepada Kristus dan Gereja. Kaum awam dapat menjalankan
kerasulannya dengan kegiatan penginjilan dan pengudusan manusia serta
meresapkan dan memantapkan semangat Injil ke dalam Tata Dunia
sedemikian rupa sehingga kegiatan mereka sungguh- sungguh memberikan kesaksian
tentang Kristus dan melayani keselamatan manusia.
Dalam sejarah Gereja ada masa di mana Gereja
anti politik. Gereja menjauhkan diri/mengasingkan diri dari kegiatan
politik dan kemasyarakatan. Namun pada masa Paus Yohanes XXIII Gereja
mulai membuka diri. Gereja tidak lagi hidup di dalam dirinya sendiri namun
terlibat di dalam dunia. Gereja dipanggil untuk menyucikan dunia melalui karya
kemasyarakatan. Paus Yohanes XXIII menekankan bahwa setiap umat beriman ikut
bertanggungjawab terhadap pembangunan masyarakat untuk menegakkan martabat
manusia seutuhnya. Dalam Mater et Magistra, ditegaskan bahwa sumbangan
Gereja terhadap kemajuan masyarakat menjadi nyata melalui karya orang-orang
kristiani yang terlibat dalam pembangungan masyarakat.
Gereja sebagai sakramen keselamatan hendak menghadirkan keselamatan Allah di
tengah dunia. Oleh karena itu, tugas umat beriman adalah mewartakan kabar
gembira, tidak hanya kepada dirinya sendiri (internal), melainkan kepada
seluruh dunia (eksternal). Kaum awam dituntut menggunakan hak suaranya untuk
menyuarakan kebenaran dan memberikan sumbangannya bagi terselenggaranya
kesejahteraan umum (GS 30). Dalam segala tindakannya, umat beriman diharapkan
memiliki sikap hormat dan cinta kepada sesama, juga kepada pihak yang secara
sosial, politik maupun agama memiliki pandangan berbeda, Sikap hormat
semacam itu menjadi landasan terjadinya dialog di dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk menciptakan tata kehidupan bemasyarakat
yang bermartabat, seluruh umat diajak untuk terjun di dalam kehidupan
nyata di lingkungan. Kaum awam yang dalam kehidupan sehari-hari menyatu dengan
masyarakat diharapkan mengambil bagian dalam setiap kesempatan sosial dan
politik yang terbuka, misalnya terlibat dalam organisisasi RT dan RW, desa,
keluruhahan dan organisasi kemasyarakatan lain, bahkan dalam organisasi partai
politik. Umat beriman harus merasa dirinya bertanggungjawab untuk memajukan
kesejaheraan umum karena terdorong oleh pangglan sebagai garam dan terang serta
sebagai pengejawantahan sebagai warga negara dan masyarakat.
c.
Peranan Awam sering
diistilahkan sebagai KeRasulan Awam yang tugasnya dibedakan sebagai KeRasulan
internal dan eksternal. KeRasulan internal atau kerasulan “di dalam Gereja”
adalah keRasulan membangun jemaat. Kerasulan ini lebih diperani oleh jajaran
hierarkis, walaupun Awam dituntut juga untuk mengambil bagian di dalamnya.
KeRasulan eksternal atau keRasulan “dalam tata dunia” lebih diperani oleh para
Awam. Namun harus disadari bahwa keRasulan dalam Gereja bermuara pula ke dunia.
Gereja tidak hadir di dunia ini untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia.
Gereja hadir untuk membangun Kerajaan Allah di dunia ini.
Walaupun tiap
komponen memiliki fungsinya masing-masing, namun untuk bidang-bidang tertentu,
terlebih dalam keRasulan internal yaitu membangun hidup menggereja, masih
dibutuhkan partisipasi dan kerja sama dari semua komponen. Dalam hal ini
hendaknya hierarki tampil sebagai pelayan yang memimpin dan mempersatukan.
Pimpinan tertahbis, yaitu dewan Diakon, dewan Presbyter, dan dewan Uskup tidak
berfungsi untuk mengumpulkan kekuasaan ke dalam tangan mereka, melainkan untuk
menyatukan rupa-rupa tipe, jenis, dan fungsi pelayanan (kharisma) yang ada.
Hierarki berperan
untuk memelihara keseimbangan dan persaudaraan di antara sekian banyak tugas pelayanan.
Para pemimpin tertahbis memperhatikan serta memelihara keseluruhan visi, misi,
dan reksa pastoral. Karena itu, tidak mengherankan bahwa di antara mereka
termasuk dalam dewan hierarki ini ada yang bertanggungjawab untuk memelihara
ajaran yang benar dan memimpin perayaan sakramen-sakramen.
Karena Gereja itu
Umat Allah, maka Gereja harus sungguh-sungguh menjadi Umat Allah. Ia hendaknya
mengkonsolidasi diri untuk benar-benar menjadi Umat Allah. Ini adalah tugas
membangun gereja. Tugas ini dapat disebut keRasulan internal. Tugas ini pada
dasarnya dipercayakan kepada golongan hierarkis (keRasulan hierarkis), tetapi
Awam dituntut pula untuk ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan Awam dalam
tugas membangun gereja ini bukanlah karena menjadi perpanjangan tangan dari
hierarki atau ditugaskan hierarki, tetapi karena pembabtisan ia mendapat tugas
itu dari Kristus. Awam hendaknya berpartisipasi dalam tri tugas gereja. 1)
Dalam tugas nabiah (pewarta sabda), seorang Awam dapat mengajar agama, sebagai
katekis,memimpin kegiatan pendalaman Kitab Suci atau pendalaman iman, dsb
1)
Dalam tugas Imamiah
(menguduskan), seorang Awam dapat
2)
Memimpin doa dalam
pertemuan umat,
3)
Memimpin koor atau
nyanyian dalam ibadah,
4)
Membagi komuni
sebagi proDiakon,
5)
Menjadi pelayan
putra Altar, dsb
6)
Dalam tugas nabiah
(pewarta sabda), seorang Awam dapat:
7)
Menjadi anggota
dewan paroki,
8)
Menjadi ketua
seksi, ketua lingkungan atau wilayah, dan sebagainya.
Irrarazaval, D., “Incarnation,
Paschal Mystery, Pentecost: Source of Inculturation”, Jahrbuch für kontextuelle Theologien, Aachen:
Institut Missio e.V., 1994, 166-190.
Kasper, W., “Kirche
und Kultur. Evangelisierung und Inkulturation”, dalam Bernhard Fraling dkk
(ed.), Kirche und Theologie im kulturellen Dialog,Freiburg im
Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1994, 157-162.
Martasudjita, E., Pengantar
Liturgi. Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi,Yogyakarta: Kanisius,
1999.
1 dari 1
0 Response to "Latihan Soal UAS THE"
Posting Komentar